Pengumuman

Oleh Muhammad Heikal Daudy

hukum.unmuha.ac.id, Banda Aceh-BEBERAPA pekan terakhir, publik Aceh kembali dibuat gaduh terkait pernyataan Mendagri H Tjahjo Kumolo SH, yang berencana menganulir sejumlah perda (qanun) Aceh dalam hal pelaksanaan syariat Islam. Mulai dari keinginannya mengoreksi Hukum Acara Jinayat (Qanun No.7 Tahun 2013) dan Hukum Jinayat (Qanun No.6 Tahun 2014) demi alasan sinkronisasi dan harmonisasi hukum. Lalu mengomentari peraturan larangan jam malam bagi perempuan di Kota Banda Aceh yang memandangnya sebagai aturan diskriminatif. Dan terakhir, hendak mencabut peraturan wajib jilbab bagi perempuan di Aceh (vide Qanun tentang Pokok-pokok Syariat Islam). Namun, belakangan pernyataan tersebut telah diklarifikasi sendiri oleh Mendagri (Serambi, 26/2/2016).

Dari amatan selama ini, sudah tak terhitung pernyataan pejabat publik Nasional setingkat menteri telah mengusik ketentraman masyarakat Aceh. Berulang kali elite di Jakarta menafsirkan secara sepihak perihal kewenangan Aceh. Tak pelak, kenyataan demikian menggambarkan adanya miss perception di kalangan elite Nasional untuk memahami Aceh, seperti tampak pada pandangan mereka terhadap pelaksanaan syariat Islam.

Padahal syariat Islam sendiri merupakan “khazanah” dalam ranah hukum Islam, hukum yang diakui sebagai bagian (sub-sistem) dari sistem hukum Nasional, yang turut menjadi hukum positif Negara Republik Indonesia (NRI). Dan memang, hanya Aceh saja satu-satunya provinsi yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh (kaffah). Melingkupi seluruh sektor kehidupan mulai akidah, ibadah, muamalah, akhlak, siyasah, hingga jinayah (pidana).

Konsensus ini terakomodir di dalam konstitusi negara dan diamini oleh pemerintah Indonesia sebagai bentuk penghormatan status keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki Aceh. Manifestasi dari kewenangan Aceh untuk melaksanakan syariat Islam tersebut, maka lahirlah UU No.44 Tahun 1999, UU No.18 Tahun 2001, dan terakhir UU No.11 Tahun 2006, yang kesemuanya merupakan produk hukum NRI yang mengatur tentang Keistimewaan dan Kekhususan Aceh.

Penegakan syariat
Selanjutnya di dalam berbagai rumusan norma peraturan perundang-undangan di atas, turut diatur kewenangan untuk memberlakukan hukum-hukum bersifat publik sekaligus privat oleh pemerintah Aceh. Termasuk pula pelembagaan (institusionalisasi) Hukum Acara Jinayat dan Hukum Jinayat sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Nasional. Di mana keduanya menjadi tolok ukur penegakan syariat Islam secara kaffah tadi.

Berkaitan dengan Hukum Acara Jinayat dan Hukum Jinayat sebagai hukum formil serta materil yang berlaku di Aceh. Keduanya mempunyai kedudukan hukum (legal standing) tersendiri yang diadakan dalam rangka melengkapi aturan umum yang berlaku secara Nasional yaitu Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Oleh karena kedua ranah hukum tersebut juga dinilai belum sepenuhnya dapat menjawab rasa keadilan masyarakat Indonesia pada umumnya (Nur Moklis, 2014:14). Dan terpenting, secara normatif-implementatif syariat Islam di Aceh merupakan pilot project dalam kontribusinya bagi pembangunan sistem hukum Nasional.

Diakui banyak pihak bahwa praktik-praktik pelembagaan hukum jinayat telah dilakukan sejak lama di Nusantara, jauh sebelum negara Indonesia berdiri pada 1945. Sebut saja pada periode sebelum kemerdekaan, ditemukan fakta historis yang mengungkapkan praktik hukum potong (amputasi) sebagai bentuk sanksi dari kasus pencurian pada masa Sultan Ageng di Banten (1650-1680). Bahkan di Aceh sepanjang abad ke-17, telah diberlakukan pola hukum sejenis di mana terdapat bagian tubuh tertentu yang diamputasi, seperti tangan dan kaki secara menyilang terhadap siapa saja yang terlibat pencurian secara berulang-ulang.

Pemidanaan dalam bentuk potong tangan kanan-kaki kiri, tangan kiri-kaki kanan, hingga pelaku kemudian diasingkan ke pulau lepas kawasan pantai Sabang (Pulau Weh). Jelas menunjukkan karakteristik yang tergolong sama dalam ketentuan fiqih Islam. Dengan demikian, hal tersebut tidak bisa dinafikan bahwa hukum potong tangan, sebagai hukum yang dikenal dalam pidana Islam, telah diterima dan berlaku di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kerajaan Islam pra-Indonesia (Anthony Reid, 2009:7).

Sejarah menunjukkan bahwa sejak perjuangan kemerdekaan sampai menjelang berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), syariat Islam harus melalui perjalanan yang sangat berat. Ini antara lain terlihat dalam rapat-rapat para pendiri negara (the founding fathers), hingga lahirnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) sebagai rumusan pertama mukadimah UUD 1945.

Rumusan Piagam Jakarta inilah yang kemudian oleh banyak kalangan dianggap sebagai ide dasar perjuangan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia saat ini. Namun demikian, lahirnya Pancasila dan UUD 1945, menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang didirikan berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan bebas dari politik warisan kolonial. Dalam perspektif Hazairin (Guru Besar UIN Jakarta) kalimat “negara berdasarkah Ketuhanan Yang Maha Esa”, secara tidak langsung menunjukkan bahwa hukum agama merupakan sumber ajaran dan bagian integrasi dan unsur mutlak dalam hukum Nasional.

Prinsip otonomi
Di era reformasi kebijakan bidang hukum pidana Islam atau jinayat mengalami perkembangan, terutama sejak adanya pembagian kewenangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di Indonesia melalui prinsip otonomi. Sehingga sejak saat tersebut, pengelolaan kekuasaan yang pada awalnya bersifat sentralistik menuju kepada model desentralistik. Maka ada daerah di Indonesia, dengan status keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki dapat mengelola daerahnya sendiri sesuai karakteristik nilai dan kebutuhan masyarakat di daerah tersebut.

Hal itu pula yang dialami Aceh, yang diberikan keleluasaan oleh pemerintah pusat untuk mengatur daerahnya sendiri termasuk untuk menerapkan syariat Islam. Ini menunjukkan bahwa syariah (hukum Islam) yang berlaku di Aceh tidak lagi terbatas pada masalah hukum perdata Islam semata seperti halnya di level Nasional, akan tetapi telah berkembang lebih jauh karena mencakup hukum pidana. Terpenting hukum Islam menjadi referensi bagi pembentukan hukum Nasional melalui pendekatan teori-teori konstitusi (the constitusion theory) dan teori adopsi (the adoption theory) yang familiar di kalangan ahli hukum.

Berkaca dari kondisi tersebut, maka pemberlakuan hukum pidana Islam atau jinayat pada era reformasi dapat disebut sebagai opsi pilihan (optional choices), meskipun dalam kasus tertentu bersifat akomodatif-terbatas (strict accomodation) karena pertimbangan politis dengan memberikan keistimewaan bagi Aceh, tetapi kewenangan ini tidak diberikan kepada daerah-daerah lain di Indonesia. Maka mari para pemangku kebijakan untuk tidak lagi “gagal paham” terhadap syariat Islam di Aceh. Wallahu’alam.

* Muhammad Heikal Daudy, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha). Email: heikal1985@gmail.com(agus)

Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul ‘Gagal Paham’ Syariat, https://aceh.tribunnews.com/2016/03/07/gagal-paham-syariat.