Opini H. MUHAMMAD HEAKAL DAUDY, S.H.,M.H.
AKADEMISI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH
Banda Aceh,18/10/23- SONTAK dan terenyak manakala Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) memutuskan berbeda untuk perkara dengan nomor registrasi 90/PUU-XXI/2023 pada Senin, 16 Oktober 2023. Momentum yang akan dikenang sepanjang zaman, hari yang bersejarah karena rekor telah terpecah. Rekor bahwa putusan MK RI memutus pokok perkara yang relatif sama mengenai batas usia secara bersamaan. Namun diputus berbeda hanya dalam waktu hitungan, di hari dan jam kerja yang sama waktu Jakarta.
Pokok perkara menyangkut uji materil soal batas usia Calon Presiden/Calon Wakil Presiden (a quo Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum) yang menyatakan bahwa “…berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” yang dimohonkan oleh para pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Putusan aneh
MK RI memutus bahwa pasal a quo sebagai inkonstitusional bersyarat, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Setelah diputus lengkapnya bunyi pasal tersebut menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” (Kompas.com., Senin 16/10/2023).
Beragam asumsi menjadi terang bahwa putusan yang dibuat oleh lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution) tersebut rentan dengan agenda politik prematur guna melanggengkan sinyalemen kuat yang menyeruak di muka publik selama ini, bahwa Gibran Rakabuming Raka digadang-gadang akan berduet dengan Prabowo Subianto sebagai Capres/Cawapres pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Putusan dengan rada-rada “aneh nan bingung” seperti dikemukakan salah seorang Hakim Konstitusi yakni Saldi Isra (nasional.tempo.co, Senin 16/10/2023) dalam putusan berbeda (dissenting opinion). Menimbang bahwa dalam pokok perkara yang sama namun dengan nomor registrasi berbeda MK RI menolak untuk seluruhnya permohonan yang dimohonkan para pemohon sebelumnya.
Akan tetapi untuk perkara yang datang dari salah seorang warga Solo berstatus mahasiswa dan secara terbuka menyatakan dirinya merupakan pengagum putra sulung Presiden Joko Widodo tersebut, maka keputusan menjadi kontras berbalik.
Kontroversi semakin tajam manakala memperhatikan komposisi Hakim MK RI secara head to head (5:4) dimana mayoritas hakim yang menerima untuk mengabulkan sebahagian pasal a quo, erat hubungannya dengan keberadaan sosok Ketua MK RI yakni Hakim Anwar Usman yang tak lain punya pertalian kekerabatan dengan keluarga sang presiden.
Sang hakim turut berada dalam barisan hakim yang mengabulkan pokok perkara. Pantas publik menilai bahwa seluruh peristiwa yang sedang berlangsung saat ini merupakan sajian dramaturgi penguasa dan elite negeri yang kentara dengan nafsu amarah atau nafsu yang mengedepankan sifat-sifat tercela alias miskin moral dan etika.
Amarah untuk duduk bersanding pada kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Amarah demi langgengnya kekuasaan keluarga dan kelompok golongan. Amarah untuk menghalalkan segala cara dengan menjadikan hukum bukan sebagai panglima, namun hannyalah alat legalisasi kekuasaan. Kekonyolan demi kekonyolan, terus dipertontonkan secara tergopoh-gopoh dan telanjang di muka publik.
Hukum jadi mainan
Banyak contoh yang menyiratkan kenyataan demikian. Bahwa penguasa dengan kuasanya mencabik-cabik rasionalitas dan akal sehat. Ditambah hasrat yang tak karu-karuan dengan melabrak prinsip-prinsip konstitusionalitas.
Publik tidak lupa bagaimana wajah negeri berubah seketika saat revisi demi revisi sejumlah regulasi berlangsung secara instan selama rezim ini. Sejumlah lembaga negara khususnya lembaga-lembaga penegak hukum yang dulunya memberi harapan dan terdepan tampil sebagai kesatria.
Sang hakim turut berada dalam barisan hakim yang mengabulkan pokok perkara. Pantas publik menilai bahwa seluruh peristiwa yang sedang berlangsung saat ini merupakan sajian dramaturgi penguasa dan elite negeri yang kentara dengan nafsu amarah atau nafsu yang mengedepankan sifat-sifat tercela alias miskin moral dan etika.
Amarah untuk duduk bersanding pada kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Amarah demi langgengnya kekuasaan keluarga dan kelompok golongan. Amarah untuk menghalalkan segala cara dengan menjadikan hukum bukan sebagai panglima, namun hannyalah alat legalisasi kekuasaan. Kekonyolan demi kekonyolan, terus dipertontonkan secara tergopoh-gopoh dan telanjang di muka publik.
Hukum jadi mainan
Banyak contoh yang menyiratkan kenyataan demikian. Bahwa penguasa dengan kuasanya mencabik-cabik rasionalitas dan akal sehat. Ditambah hasrat yang tak karu-karuan dengan melabrak prinsip-prinsip konstitusionalitas.
Publik tidak lupa bagaimana wajah negeri berubah seketika saat revisi demi revisi sejumlah regulasi berlangsung secara instan selama rezim ini. Sejumlah lembaga negara khususnya lembaga-lembaga penegak hukum yang dulunya memberi harapan dan terdepan tampil sebagai kesatria.
Hukum menjelma menjadi monster ‘pengisap darah’. Banyak korban sudah, dengan dalih dosa-dosa dunia yang hina-dina dan sarat fitnah. Toh, pada kesempatannya penguasa santer terdengar dalam hiruk-pikuk setiap prahara. Hukum di tangan prajurit laksana nyalak senjata yang membabi-buta!
Para pendiri negara nyata-nyata telah setia, melafazkan laqab hukum untuk negara tercinta. Tak hanya cukup sebagai kata-kata, namun harus wujud dalam kehidupan nyata. Hukum berada pada derap setiap langkah anak bangsa, dan tarikan nafas kehidupan bernegara. Hukum sejatinya menjadi bingkai pembangunan, membungkus harapan yang membalut badan, melindungi setiap warga negara dengan kedudukan yang sama dan setara.
Tanpa menafikan segala capaian-capaian yang sudah tercipta. Negeri Wakanda boleh berbangga dari sana. Banyak infrastruktur raksasa dibangun dimana-mana. Popularitas penguasa yang menjulang hingga ke awan. Hatta dari singgasana istana, ibukota negara baru pun dicatat menjadi titah bersama para elite dan penguasa.
Semua pencapaian semata-mata untuk dipertahankan, bukan untuk ‘dituhankan’! Inilah gambaran yang harusnya berjalan-beriringan. Adakah yang salah dengan itu semua? Sejarah mencatat, banyak bangsa-bangsa di dunia yang sudah di luar batas dan terlena dengan kuasa, hancur sehancur-hancurnya. Terpuruk, jatuh tersungkur tanpa bisa bangun lagi.
Dilupakan hilang dari peta sejarah. Ada yang terluka parah hingga berdarah-darah. Bahkan akhir hayat hidup nestapa tanpa siapa-siapa.
Tak ingin rasanya negeri Wakanda terjebak dalam pusara krisis hukum yang tak berkesudahan. Cukup sudah hukum menjadi dalih dalam arena permainan sulap-sulapan. Berpihak pada kekuasaan, bukan pada kebenaran. Cukup sudah politik yang sejatinya menjadi warna kehidupan yang memberi jalan.
Namun jadi adikuasa untuk menutup peluang dan ruang bagi anak bangsa yang tidak sejalan. Cukup sudah alat-alat negara bekerja semata di samping penguasa, bukan melindungi segenap tumpah darah bangsa. Cukup sudah berkuasa di negeri Wakanda yang pencapaiannya sudah dirasakan bersama. Demi kemaslahatan bukan kemudaratan.
Sebelum ada penyesalan, mari menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara. Kiblatkan negeri pada tujuan sejatinya, yakni demi keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Kembalikan hukum pada khitahnya sebagai panglima, sebagaimana bunyi Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”, bukan negara digdaya dengan kuasa apalagi politik tanpa etika.
Penulisan : H. MUHAMMAD HEAKAL DAUDY, S.H.,M.H.
Editor : AGUSTAMI, S.ST
Sumber : Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Wajah Hukum Negeri Wakanda, https://aceh.tribunnews.com/2023/10/18/wajah-hukum-negeri-wakanda?page=2.