Pengumuman

Oleh Muhammad Heikal Daudy

USIA perdamaian Aceh genap 10 tahun pada 15 Agustus 2015 ini. Memori masyarakat Aceh senantiasa merekam dan mencatat bahwa sejarah sebelum dimulainya rentang waktu tersebut, adalah pertautan kisah yang bermula (prolog) berdarah-darah, hingga berakhir (epilog) bahagia penuh berkah.

Kesadaran kolektif masyarakat Aceh perlu diingatkan kembali, bahwa episode sejarah Aceh damai sejak 15 Agustus 2005 silam, bukanlah peristiwa dengan alur yang berdiri sendiri. Melainkan ia adalah wujud dari adanya pengaruh dari kekuatan lain yang tak tampak (invisible power) sebagai anugerah Allah Swt. Betapa bencana gempa dan tsunami 2004 telah menggugah kesadaran pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI untuk duduk dan merendah dalam satu meja sebagai satu bagian dari lembar episode ini.

Masyarakat internasional, Crisis Management Initiative (CMI) di bawah pimpinan Martti Ahtisaari, hadir sebagai sosok-sosok dengan intuisi sensitiveness dan sense of crisis yang tinggi, sehingga mampu menyelami dan menyikapi persoalan yang sedang dialami masyarakat Aceh dan Republik ini pada saat itu. Peran yang pada akhirnya dilakoni, sesungguhnya tak terlepas dari skenario sang pemilik kekuatan dengan kekuasaan tak terbatas (absolutely power) yaitu Allah Swt, maka mari merenung kembali dan mulai percaya akan hal ini.

Modal kepercayaan adalah faktor penentu. Mengingat usia 10 tahun damai haruslah dilihat dalam konteks bahwa Aceh diberi peta jalan (road map) untuk berubah (baca; bertaubat). Maka sewajarnya pertanyaan-pertanyaan sebagai hipotesa dari periodeisasi ini layak untuk dimunculkan. Tesis mengenai apakah masyarakat Aceh mampu bersyukur dan konsisten melakukan perubahan ke arah yang lebih menjanjikan? Atau, sejauh mana peran ulama dan umara di Aceh dalam mentransfrormasi masyarakat Aceh sehingga mampu memaknai anugerah perdamaian yang berhasil dicapainya? Di sini peran ulama dan umara dapat dijadikan katalisator; sudahkah Aceh berubah dalam 10 tahun ini?

Representasi dari peran dan dinamisnya hubungan para ulama dengan kalangan umara di Aceh selama rentang waktu tersebut, barang tentu akan menjadi input yang mampu menunjukkan dimensi-naratif terkait perdamaian yang sudah berjalan saat ini. Untuk selebihnya, masyarakat Aceh dari berbagai latar belakang juga dapat berperan aktif, dengan mengevaluasi secara terukur sejumlah variabel identik antara perdamaian yang berkorelasi dengan kekhususan dan keistimewaan Aceh sebagai output dari konklusi yang mampu diperoleh nantinya.

Tak dapat dipungkiri bahwa, penegasan posisi Aceh di mata pemerintah RI (baca; Jakarta), berkaitan dengan perjuangan untuk diakuinya entitas keacehan secara utuh sebagai bagian dari bangsa Indonesia, mulai dari bidang: politik otonomi (self government), ekonomi, sosial dan budaya. Tradisi perjuangan ini pula yang dielaborasi trah kaum ulama dan umara Aceh dengan berbagai peunutoh dan peutuah chik dari generasi ke generasi hingga menjadikannya sebagai “modal perjuangan” dari masa ke masa.

Kesadaran kolektif
Romantisme perjuangan tersebut mempunyai benang merah dengan kesadaran kolektif masyarakat Aceh yang berpegang teguh pada dinul Islam. Sejarah mencatat, komitmen untuk mengaplikasikan syariat Islam secara kaffah, merupakan eskalasi dari keinginan kuat masyarakat Aceh yang ingin berdamai dengan masa lalu (kembali ke era keemasan di masa Sultan Iskandar Muda), serta menjadi masyarakat muslim yang paripurna dan cinta damai.

Adapun dalam fase transisi yang telah berjalan selama 10 tahun ini, dirasa masih meninggalkan catatan-catatan korektif. Demikian penuturan pimpinan kaum intelektual kampus di Aceh beberapa waktu lalu. Sejumlah koreksi mulai dari ranah politik, ekonomi, sosial hingga budaya ikut dipaparkan. Konon, pemerintah Aceh dan segenap stakeholders belum maksimal memainkan peran strategisnya. Indikator sederhananya terkait persoalan daya serap anggaran yang saban tahun jauh dari target yang ditetapkan.

Banyak pihak menilai bahwa persoalan mendasar yang menghambat Aceh dalam fase transisi sekarang adalah persoalan membangun kepercayaan (trust building). Demikian konklusi dari amatan segenap aktivis lintas generasi Aceh baru-baru ini dalam evaluasi pembangunan Aceh 10 tahun terakhir. Bukti dari adanya hal tersebut tercermin dari salah satu butir rekomendasi yang meminta kepada pemimpin Aceh saat ini dapat saling melengkapi satu dengan lainnya.Halaman selanjutnya 

Persoalan kepercayaan merupakan titik fokus yang sejatinya menjadi perhatian khusus segenap pihak dalam masa transisi pascakonflik. Terlebih konflik vertikal yang dialami Aceh, merupakan sejarah yang terkesan berulang dan tak berujung. Pengalaman di masa lalu, menunjukkan bahwa Aceh belum pernah berhasil secara meyakinkan dalam menjaga dan merawat momentum perdamaian secara berkesinambungan. Pada titik ini, seluruh masyarakat dan pelaku sejarah di Aceh secara sadar mengakui akan kenyataan tersebut.

Tantangan utama dalam masa transisi sesungguhnya membutuhkan peran maksimal dari segenap potensi para ulama dan umara di Aceh. Sinergi antara kedua pilar pembangunan ini, dituntut untuk mampu mengayomi, mengawal dan yang terpenting membentuk karakter masyarakat Aceh sesuai identitasnya, yakni Islam itu sendiri. Keinginan untuk menjadikan Aceh sebagai pusat resolusi konflik, pusat mitigasi bencana, dan pusat peradaban Islam di Nusantara, masih berupa ius constiduendum alias sebatas pencapaian yang masih dicita-citakan.

Sekalipun usaha ke arah itu telah diupayakan, namun hasilnya belum tampak signifikan karena program-program yang dilahirkan tak satu pun dijadikan leading sector dan tidak progresif. Di mata publik, konsepsi yang sedang berjalan saat ini belum berskala masif dan membumi, sehingga dampaknya belum dirasakan langsung oleh masyarakat Aceh secara luas.

Tak lagi bergolak
Setelah 10 tahun, publik Aceh ingin diyakinkan bahwa nanggroe endatu tak lagi bergolak dalam desingan peluru. Tidak terlihat lagi atau tercium trik-intrik kotor di panggung politik, yang saban kali menjadi pemicu konflik kepentingan sesama elite. Hubungan antara ulama dan umara harus berjalan dinamis, dengan saling berbagi peran bukan berbagi “keran”. Sepatutnya ulama tidak mudah terkontaminasi godaan syahwat elite politik yang hobi menjadikannya sebatas lips services melalui janji manis untuk kepentingan sesaat selama musim kampanye.

Begitupun peran umara, dengan harapan senantiasa konsisten menjaga amanah dalam melayani dan memenuhi segenap hajat hidup masyarakat. Jangan pula, antara ulama dan umara di Aceh ikut tergelitik untuk saling melemahkan hingga mencari-cari jalan untuk berkonflik. Karena pada hakikatnya yang dikorbankan adalah masyarakat yang awam pengetahuan agama apalagi politik.

Hari-hari ke depan merupakan pembuktian bahwa Aceh mampu tampil lebih baik. Waktu 10 tahun merupakan modal historis, psikologis sekaligus terkandung nilai spiritual masyarakat Aceh untuk membangun daerahnya. Ingatlah bahwa ketika akan menutup lembaran masa transisi ini, Aceh masih menyisakan sejumlah masalah akut berdimensi sosial yang membutuhkan solusi penanganan segenap pihak untuk dituntaskan.

Publik Aceh masih akan menunggu bahwa persoalan reintegrasi dapat menemukan metode jitu untuk kelanjutannya. Dosa-dosa masa lalu, dapat direkonsiliasi untuk diungkap kebenarannya. Morat-maritnya ekonomi, yang memunculkan disparitas antara si kaya dan si miskin semoga dapat segera teratasi. Praktik korupsi, judi dan prostitusi sebagai biang keladi perusak moral pejabat negeri agar tidak semakin menjadi-jadi.

Demikian pula tindak kriminal, akibat peredaran senjata api dan bom-bom sisa konflik yang luput untuk dimusnahkan kiranya segera ditindak dan diadili. Hilangnya akal sehat remaja karena mengonsumsi narkotika yang tergolong tinggi di negeri ini, agar segera bisa terobati. Dirgahayu 10 Tahun MoU Helsinki.

* Muhammad Heikal Daudy, SH., MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Aceh. Email: heikal1985@gmail.com(Agus)


Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul 10 Tahun MoU Helsinki, https://aceh.tribunnews.com/2015/08/13/10-tahun-mou-helsinki?page=1.