Oleh Basri Effendi dan Muhammad Heikal Daudy
hukum.unmuha.ac.id, Banda Aceh-MIRIS tatkala melihat potret manusia perahu alias (boat people) di berbagai media cetak, televisi, maupun sosial yang kembali terdampar di perairan Aceh. Jumlahnya tak mencapai 1.300 jiwa, akumulasi dari pengungsi yang berdatangan mulai Minggu (10/5/2015) di Seuneuddon, Aceh Utara yang berjumlah 600 jiwa, ditambah dengan pengungsi yang terdampar Jumat (16/5/2015) di Kuala Langsa, Langsa berjumlah sekitar 700 Jiwa. Para pengungsi ini berasal dari etnik Rohingya di Myanmar serta etnik Benggali dari Bangladesh.
Pada 2009 silam, manusia-manusia perahu juga terdampar secara serempak di tiga lokasi sekaligus. Ada yang terdampar di wilayah Idi Rayeuk (Aceh Timur), Sabang, dan Nagan Raya. Jumlah mereka pada saat itu 443 jiwa. Terakhir pada 2013, mereka terdampar di Lhokseumawe, jumlahnya 130 jiwa. Tak terperi rasanya menimang kondisi para pengungsi yang cukup memprihatinkan tersebut. Tentunya, ada persoalan kemanusiaan mendasar yang sedang dialami etnik pengungsi tertindas ini.
Bagi etnik Rohingya yang bermukim di Arakan, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, persoalan yang dihadapi mutlak berspektif politik. Sejak merdeka pada 1948, etnik Rohingya tidak termasuk suku bangsa yang diakui sebagai bagian dari bangsa Myanmar. Etnik ini dianggap sebagai “orang-orang Benggali” demikian penuturan pemimpin Myanmar Jenderal Thein Shein suatu ketika. Karena alasan itu pula etnik Rohingya tidak memperoleh kewarganegaraan (stateless) hingga akses terhadap fasilitas-fasilitas publik khususnya pendidikan, kesehatan maupun sandang-pangan mustahil untuk dikatakan memadai.
Situasi demikian sudah berlangsung lama, sebelum benar-benar menjadi tragedi terburuk bagi etnik ini pada 2013 silam. Ketika itu, telah terjadi pembersihan etnik (ethnic cleansing) sebagaimana laporan resmi yang diterbitkan oleh NGO HAM seperti Amnesty Internasional, media liputan internasional seperti Al-Jazeera, dan lain-lain. Semuanya memastikan bahwa benar telah terjadi pembersihan etnik di Arakan, Negara Bagian Rakhine, yang dimotori oleh pemuka dan pengikut berhaluan garis keras satu agama mayoritas di negara tersebut.
Lain halnya dengan penderitaan panjang yang juga dialami etnik Benggali. Alasan bagi etnik Benggali di Bangladesh untuk bermigrasi terkait erat dengan kondisi politik di negaranya. Sebagaimana diakui oleh seorang pengungsi asal Bangladesh yang terdampar baru-baru ini, mengungkapkan bahwa alasan mereka mengungsi karena rezim pemerintah Bangla saat ini, telah membekukan dan melarang segala aktivitas organisasi Jama’ah el Islami Bangladesh sebagai organisasi makar, berikut menangkap dan menghukum mati para aktivis maupun simpatisannya.
Ingin mengubah nasib
Terlepas dari situasi politik yang terjadi, motif para manusia perahu ini bermigrasi juga karena alasan ekonomi. Rata-rata pengungsi yang berhasil ditemui serempak menjawab bahwa mereka memiliki tujuan ke Malaysia. Alasannya sederhana sekali, ingin mengubah nasib dan meningkatkan kesejahteraan. Di kala hal-hal seperti ini tidak dapat dilakukan lagi di negara asal. Lalu mengapa menjadikan Malaysia sebagai tujuan? Pertimbangannya barang tentu karena Malaysia mampu membangun ekonominya, dan diantara negara-negara anggota ASEAN, hanya Malaysia saja yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 tentang Pengungsi (Refugee).
Menyikapi situasi tersebut, sepantasnya Pemerintah RI dapat memainkan peran strategis dalam menanggulangi bencana kemanusiaan ini. Pada tahap awal, langkah yang bisa dilakukan ialah dengan memfasilitasi serta memaksimalkan segala potensi sumber daya yang ada, guna menampung keberadaan pengungsi tersebut. Hal ini sesuai prinsip non-refoulement, yakni sebuah prinsip yang hanya dikenal dalam lalu lintas Hukum Internasional khususnya dalam rezim hukum pengungsi (refugee law). Di mana prinsip ini memastikan bagi negara-negara dilarang mengembalikan para pengungsi baik secara individu maupun kelompok ke negara asalnya, yang patut diduga akan mengalami persekusi atau penganiayaan karena faktor perbedaan ras, suku, agama, kebangsaan atau perbedaan keyakinan politiknya.
Prinsip “larangan pemulangan” ini telah dianut Pemerintah RI di dalam peraturan perundang-undangan nasional khususnya rezim keimigrasian yakni UU No.6 Tahun 2011 beserta aturan derivasi di bawahnya. Mengingat RI belum meratifikasi Konvensi Pengungsi, maka norma hukum keimigrasian tersebut menjadi landasan yuridis bagi Pemerintah RI dalam menangani masalah pengungsi saat ini. Berdasarkan aturan yang tertera di dalam UU tersebut, diterangkan bahwa Pemerintah RI melalui instansi terkait yakni Kementerian Hukum dan HAM, dapat membangun sarana dan prasarana Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) sebagai Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam penanganan pengungsi yang sudah berlaku umum di banyak negara.
Pengalaman Pemerintah RI yang tergolong sukses dahulunya tatkala menangani “manusia perahu” asal Vietnam di era 1960-an bisa dijadikan contoh. Pemerintah RI masa itu, pernah menyediakan pulau Berhala di Provinsi Sumatera Utara, guna dijadikan lokasi penampungan (Rudenim) diperuntukkan bagi korban perang Vietnam. Sebelum pada akhirnya dikembalikan ke negara asal setelah kondisi politik kondusif dan prosesnya difasilitasi UNHCR.
Ingatlah bahwa sepanjang persoalan mendasar sebagaimana dialami etnik Rohingya di Myanmar yang tidak memiliki kewarganegaraan serta etnik Benggali yang menjadi anggota atau simpatisan organisasi terlarang di Bangladesh, tidak kunjung didorong penyelesaiannya oleh organisasi internasional seperti PBB. Maka tidak ada keadilan bagi kedua etnik tersebut. Selanjutnya adalah solusi jangka panjang, dengan mengadvokasi status etnik Rohingya hingga memiliki kewarganegaraan secara simultan dan berkelanjutan.
Selain itu, peran penting dari Komisi Tinggi Pengungsi Internasional (UNHCR) juga tak bisa dinafikan. UNHCR adalah faktor penentu, mengingat mandat dari Konvensi Jenewa 1951 sendiri, turut menegaskan bahwa UNHCR merupakan lembaga yang ditunjuk oleh segenap negara pihak (parties) dalam konvensi yang mewakili PBB untuk mengawasi pelaksanaan isi dari konvensi tersebut. Berikut pula tanggung jawabnya untuk mensponsori dan mencari negara ketiga yang bisa dijadikan negara tujuan oleh para pengungsi tersebut sebagai “tanah air” baru mereka. Lalu adakah pulau Berhala kedua di Aceh?
* Basri Effendi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Muhammad Heikal Daudy, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha), Banda Aceh. Email: heikal1985@gmail.com
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Mencari Tanah Air Manusia Perahu, https://aceh.tribunnews.com/2015/05/19/mencari-tanah-air-manusia-perahu?page=2.
Pemerintah Aceh juga perlu di dorong guna memainkan perannya dalam penanganan masalah pengungsi yang saban tahun terdampar di perairan Aceh seperti saat ini. Terlepas dari keterbatasan yang menghalangi Pemerintah Aceh untuk dapat memiliki andil besar disini, seperti ketiadaan perangkat hukum, dana, dan lain-lain. Namun yang terpenting adalah itikad baik (good faith) oleh Pemerintah Aceh untuk berbuat atas dasar kemanusiaan. Toh, secara historis dan sosiologis hal ini mungkin sekali untuk diwujudkan.
Membuka mata hati
Sedikit menelisik ke belakang, dari sisi historis MoU Helsinki telah membuka mata hati Pemerintah RI untuk terdorong meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) dan Kovenan Internasional Hak Sipil Politik (ICCPR) 1966 ke dalam UU No.11/2005 dan UU No. 12/2005. Di dalamnya turut diatur hak-hak para pencari suaka politik (asylum seekers). Kuat dugaan bahwa, pengungsi-pengungsi dari kedua negara di atas merupakan pelarian politik. Bagi pemerintah Aceh, tidak mungkin menolak kehadiran mereka. Dari segi sosiologis pun, orang Aceh dengan etnik Rohingya dan Benggali, memiliki kesamaan ikatan emusional sebagai sesama muslim. Belum lagi dengan melihat jenis tipikal konflik yang memiliki kesamaan yakni konflik vertikal, dimana Aceh memiliki pengalaman dalam model penyelesaiannya.
Konkretnya, itikad baik dari pemerintah Aceh dalam posisinya saat ini, dapat diusahakan dengan menyediakan lahan yang memadai bagi pembangunan Rudenim di Aceh sebagai solusi jangka pendek. Mengingat masalah lahan sering sekali menjadi dalih Pemerintah RI untuk tidak menambah jumlah Rudenim selama ini. Padahal harus diingat bahwa, kasus terdamparnya manusia perahu sebagaimana telah sering dialami, akan terus terjadi di masa-masa yang akan datang.
Ingatlah bahwa sepanjang persoalan mendasar sebagaimana dialami etnik Rohingya di Myanmar yang tidak memiliki kewarganegaraan serta etnik Benggali yang menjadi anggota atau simpatisan organisasi terlarang di Bangladesh, tidak kunjung didorong penyelesaiannya oleh organisasi internasional seperti PBB. Maka tidak ada keadilan bagi kedua etnik tersebut. Selanjutnya adalah solusi jangka panjang, dengan mengadvokasi status etnik Rohingya hingga memiliki kewarganegaraan secara simultan dan berkelanjutan.
Selain itu, peran penting dari Komisi Tinggi Pengungsi Internasional (UNHCR) juga tak bisa dinafikan. UNHCR adalah faktor penentu, mengingat mandat dari Konvensi Jenewa 1951 sendiri, turut menegaskan bahwa UNHCR merupakan lembaga yang ditunjuk oleh segenap negara pihak (parties) dalam konvensi yang mewakili PBB untuk mengawasi pelaksanaan isi dari konvensi tersebut. Berikut pula tanggung jawabnya untuk mensponsori dan mencari negara ketiga yang bisa dijadikan negara tujuan oleh para pengungsi tersebut sebagai “tanah air” baru mereka. Lalu adakah pulau Berhala kedua di Aceh?
* Basri Effendi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Muhammad Heikal Daudy, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha), Banda Aceh. Email: heikal1985@gmail.com(Agus
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Mencari Tanah Air Manusia Perahu, https://aceh.tribunnews.com/2015/05/19/mencari-tanah-air-manusia-perahu.