Oleh Muhammad Heikal Daudy
hukum.unmuha.ac.id, Banda Aceh- TAHUN 2015 adalah periode paling suram bagi dua partai politik (parpol) sepuh di Republik ini, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sepak terjang Partai Golkar dan PPP benar-benar sedang diuji kesolidannya. Sebagai parpol sarat pengalaman dan telah hidup lama di dunia “persilatan” politik Nasional, rekam jejak tersebut rupanya belum menjamin eksistensi keduanya, sekalipun telah mampu bertahan di dua zaman sekaligus yakni Orde Baru dan Orde Reformasi.
Problematika yang dialami kedua parpol sepuh itu penting untuk disimak. Terakhir dinamika yang berkembang di tubuh partai belum final. Kisruh internal partai telah membelah struktur kepengurusan masing-masing. Tatanan keorganisasian partai menjadi rusak, klaim adanya kepengurusan yang “sah dan bodong” menjadi konsumsi pihak-pihak yang cukup menikmati drama ini. Sebutlah lawan politik dan para “broker” di lingkar kekuasaan sebagai aktor utama penerima manfaat dari hiruk-pikuk ini. Sisanya adalah simpatisan partai dan konstituen/masyarakat yang secara tidak sadar dikorbankan kepentingannya.
Rakyat di Republik ini menjadi korban akibat perekonomian dalam negeri yang sedang stagnan. Pemerintah melulu menjaga stabilitas ekonomi makro, dengan tidak menghiraukan neraca ekonomi mikro. Rupiah melemah, daya beli masyarakat rendah. Celakanya modal pembangunan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) umumnya belum dibelanjakan karena “mandeg” di tingkat pembahasan. Muncul “bipolarisasi” kelembagaan antara eksekutif dan legislatif yang sangat tajam hingga melemahkan fungsi cheks and balances. Energi kedua lembaga terkuras bukan untuk hal yang substantif melainkan terjebak perang urat saraf berujung kontak fisik. Fenomena demikian setidaknya menunjukkan bahwa Republik ini darurat sosok negarawan.
Apa yang dialami Partai Golkar dan PPP juga menunjukkan bahwa keduanya krisis politisi kaliber negarawan ditubuh partai masing-masing. Tidak ada figur yang benar-benar kharismatik hingga kapasitas kepemimpinannya membumi bagi para kader. Petuah didengar dan instruksinya dilaksanakan. Padahal publik mengetahui dengan pasti bahwa Golkar maupun PPP tak kurang tokoh-tokoh sepuh. Lalu mengapa tidak “cukup ampuh” dalam memanajemen konflik internal partai?
Dualisme kepengurusan
Konflik yang berujung pada dualisme kepengurusan di dua partai tersebut, disinyalir buah dari krisis pengakaderan ditubuh partai yang telah berlangsung lama. Kedua partai sejauh ini sangat rentan tersusupi “kutu loncat” bahkan dipimpin para pemodal yang suka berakrobat politik. Inilah potret partai yang tidak konsisten menjaga ideologi partai yang hanyut di tengah alam politik transaksional akut dewasa ini. Semangat berdemokrasi yang sejatinya menguatkan struktur kenegaraan, malah melahirkan para bandit-bandit politik yang haus kekuasaan. Etika berpolitik dibangun dengan nalar pragmatisme buta.
Patut disesalkan, jika sampai Partai Golkar dan PPP nantinya karam gara-gara konflik internal, sekalipun banyak pihak tidak mengiginkan itu terjadi. Tidak menarik jika suatu saat pentas politik nasional tidak lagi menggigit tanpa dua kontestan ini. Kedua partai adalah bagian dari sejarah panjang berdemokrasi di tanah air, plus menjadi “guru pandita” bagi partai-partai lain yang lahir setelahnya.
Hari-hari ke depan Partai Golkar dan PPP dihadapkan pada ancaman “pembubaran”. Penilaian sepihak ini berkaca pada kebijakan pemerintah melalui Menkumham RI Yasonna Laoly yang telah mengakui salah satu pengurus dari masing-masing partai. Untuk PPP, sang menteri mengabulkan kubu Romahurmuzy sebagai pengurus PPP yang sah, kemudian terakhir mengakui kubu Agung Laksono sebagai punggawa Partai Golkar yang legitimate.
Bukan rahasia lagi, jika Romahurmuzy maupun Agung Laksono merupakan kompatriot Megawati cs, dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pascapilpres 2014 kemarin. Manuver-manuver yang dilakukan kedua tokoh tersebut, tergolong nekat dengan mengutak-atik AD/ART sebagai rule of games partai demi kepentingan politik yang diperjuangkan. Terlepas dari trik-intrik yang membumbui prosesnya, kredibilitas partai ikut tergadaikan.
Pengalaman seperti dialami Partai Golkar dan PPP mengingatkan publik di tanah air akan nasib Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di masa Orde Baru. Partai berlambang kepala banteng itu, dipecah menjadi kubu Soerjadi dan Megawati. Operasi senyap yang dimainkan rezim Soeharto untuk menghancurkan PDI dari dalam saat itu, sama halnya dengan pola yang sedang dijalankan oleh rezim saat ini dengan memojokkan posisi Partai Golkar dan PPP hingga terdesak nantinya. Tinggal bagaimana segenap pengurus kedua partai sadar akan halnya ini dan segera berkonsolidasi guna menengahinya secara permanen.
Diakui tawaran di atas akan terasa sulit untuk diwujudkan. Karena kedua kubu yang bersitegang di masing-masing partai telah mentukan pilihan dan berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Pesimisme menyangkut hal ini tidak hanya menggejala di kalangan elite politik sendiri maupun pengamat, bahkan publik pun ikut merasakan. Tapi optimisme tetap harus dibangun. Khususnya oleh seluruh pengurus Partai Golkar dan PPP untuk memetakan secara jernih masalah yang dihadapi dan kompak menempuh jalur hukum.
Proses litigasi
Dengan mempedomani UU Parpol serta AD/ART partai, maka proses litigasi di peradilan dapat dimanfaatkan sesuai ranah dan kompetensi absolut masing-masing. Unsur pidana bisa disalurkan ke Pengadilan Negeri, sedang administrasi via Pengadilan Tata Usaha Negara. Rangkaian proses ini harus ditempuh mulai tingkat pertama hingga selesai di gerbang terakhir Mahkamah Agung (MA). Untuk mewujudkannya terlebih dulu masing-masing kubu islah lalu berkomitmen kuat menempuh seluruh sarana hukum tersebut.
Publik berkeyakinan bahwa hanya dengan “pisau hukum” maka “penyakit diabet” yang sedang diidap kubu-kubu yang saling berseberangan karena manisnya “kue kekuasaan” dapat dinormalisasi. Jika ini berhasil, segenap pengurus kedua partai akan mampu berjalan dengan kepala tegak kembali, karena mampu menyelesaikan masalah rumah tangganya secara elegan. Sepak terjang Partai Golkar dan PPP sebagai partai sepuh di Republik ini cukup dinantikan kiprahnya. Publik akan mencatat bahwa hukum benar-benar ditempatkan sebagai panglima oleh para politisi negeri ini. Mengingat kondisi Republik sekarang yang masih minus tokoh-tokoh negarawan serta politisi beretika yang sarat keteladanan.
Bagi semua partai di Indonesia dapat mengambil pelajaran penting dari peristiwa ini. Sudah lebih dari sepuluh tahun pascareformasi, baru dua partai yang layak ditambalkan sebagai partai ideologis. Paling tidak untuk saat sekarang hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tergolong mampu membangun sistem manajemen partai yang solid, sekaligus mencetak kader-kader militan.
Untuk itu, membangun sebuah parpol modern harus mampu mentransformasikan ideologi partai ke seluruh kader secara berkesinamnungan dan terstruktur tapi tidak transaksional. Peran ini begitu kentara terlupakan oleh banyak parpol di tanah air sekarang. Pekerjaan rumah lainnya, fungsi-fungsi parpol harus efektif diwujudkan kembali dalam setiap agenda politik partai, demi penguatan demokrasi plus sistem presidensial agar tidak timpang.
* Muhammad Heikal Daudy, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha). Email: heikal1985@gmail.com(agus)
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Uji Nyali Dua Parpol Sepuh, https://aceh.tribunnews.com/2015/03/17/uji-nyali-dua-parpol-sepuh.